Pilihan Allah yang Terbaik
Pilihan Allah yang Terbaik adalah kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Maududi Abdullah, Lc. pada Ahad, 19 Jumadil Akhir 1446 H / 21 Desember 2024 M.
Kajian Tentang Pilihan Allah yang Terbaik
Iblis memiliki kemampuan membolak-balikkan fakta, menjadikan yang baik terlihat buruk dan yang buruk terlihat baik. Allah telah memperlihatkan hal ini kepada kita ketika iblis menipu Nabi Adam ‘Alaihis Salam dengan memutarbalikkan kebenaran tentang pohon yang dilarang oleh Allah. Pohon tersebut, yang jika Nabi Adam memakan buahnya, akan menyebabkan beliau terusir dari surga, dinamai oleh iblis sebagai pohon khuldi.
Istilah khuldi berasal dari iblis, bukan dari Allah. Artinya adalah “kekal”. Iblis menamainya demikian untuk menipu Nabi Adam. Ia berkata bahwa pohon itu adalah “pohon kekekalan”, dan jika Nabi Adam memakan buahnya, maka beliau akan kekal di surga. Penamaan ini hanyalah tipu daya iblis untuk menjebak Nabi Adam. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya tidak ikut-ikutan menyebut pohon tersebut sebagai pohon khuldi.
Nama pohon atau buah itu sebenarnya tidak diketahui, karena tidak ada keterangan jelas dalam Al-Qur’an maupun hadits. Semoga Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk melihat pohon itu kelak di surga-Nya. Namun, apa yang dilakukan iblis menjadi pelajaran penting bahwa hawa nafsu, syahwat, dan keinginan terhadap kebaikan yang salah arah dapat membuat manusia terjebak, sebagaimana Nabi Adam akhirnya memakan buah dari pohon tersebut, yang menyebabkan beliau dikeluarkan dari surga oleh takdir Allah.
Jika manusia hanya mengandalkan logika, pengalaman hidup, atau adat istiadat untuk menentukan kebaikan dan keburukan, maka masih besar kemungkinan iblis akan bermain di sana. Ini menunjukkan betapa pentingnya merujuk pada ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menentukan apa yang baik dan buruk.
Jadikan Syariat Sebagai Tolok Ukur
Oleh karena itu, Allah menurunkan petunjuk berupa hidayah dan syariat agar kita dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Petunjuk ini juga mengajarkan kita untuk mengenali tipu daya iblis, yang sering kali memutarbalikkan fakta. Ketika kebaikan dikatakan buruk oleh manusia, atau keburukan dikatakan baik, itu adalah bagian dari tipu daya iblis.
Maka, janganlah menjadikan logika berpikir, warisan masa lalu, pendidikan, atau pengalaman hidup sebagai satu-satunya tolok ukur untuk menentukan kebaikan dan keburukan. Sebagai contoh, ada orang yang pernah berkata langsung kepada saya: “Dulu saya memahami sesuatu sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, setelah mengalami peristiwa tertentu, saya mengubah pemahaman saya.”
Padahal, pemahaman awalnya itu sebenarnya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang wajib kita jadikan uswatun hasanah (teladan yang baik). Namun, karena pengalaman hidup tertentu, ia membuat kesimpulan baru yang bertentangan dengan ajaran Nabi.
Subhanallah, apa yang terjadi di sini? Pengalaman hidupnya lebih diutamakan dibanding ilmu yang datang kepada manusia dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Inilah bentuk kesalahan besar yang harus dihindari. Ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah adalah wahyu dari Allah, yang menjadi panduan hidup kita.
Pentingnya Kembali kepada Syariat
Manusia sering kali merasa egois. Ketika melihat sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan, lalu Allah mengalihkan dari keinginan tersebut, mereka tidak terima, tidak ridha, bahkan protes. Jika hati ini tidak dituntun kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, manusia cenderung mengikuti keinginan dan pemahaman pribadi.
Kita sering mendengar keluhan: “Mengapa Allah memberikan ini, padahal saya menginginkan itu? Mengapa doa saya tidak dikabulkan?” Sampai pada titik tertentu, sebagian manusia menjadikan hal ini alasan untuk mengingkari keberadaan Allah. Mereka berkata, “Tidak ada pengatur alam semesta.” Salah satu argumen keliru yang sering dilontarkan adalah, “Saya sudah meminta berkali-kali kepada Allah, tapi doa saya tidak dikabulkan. Berarti Allah tidak ada.”
Subhanallah, betapa aneh cara berpikir seperti ini. Apakah karena permintaanmu tidak dikabulkan, lantas engkau menyimpulkan bahwa Allah tidak ada? Jika seseorang meminta sesuatu kepada presiden, dan permintaannya tidak dikabulkan, apakah itu berarti presiden tidak ada?
Mengatasi Egoisme dalam Diri dan Komunitas
Beberapa poin berikut ini diharapkan dapat membantu mengobati dan mengarahkan psikologis manusia dalam memahami kebaikan, keburukan, serta egoisme yang ada di dalam dirinya. Sifat egois ini bisa menjadi semakin besar ketika seseorang bergabung dengan orang lain yang memiliki tujuan yang sama. Hal ini sering kali membentuk sebuah komunitas dengan keinginan yang seragam.
Sayangnya, egoisme ini dapat berkembang menjadi egoisme berjamaah, yaitu ketika komunitas tersebut menganggap bahwa semua pendapat yang berbeda dengan keinginan mereka adalah salah. Mereka beranggapan bahwa hanya pendapat dari komunitas mereka yang benar.
Poin Pertama: Menyadari Kedudukan sebagai Hamba
Poin pertama yang perlu direnungkan adalah menyadari bahwa kita adalah hamba, sementara Allah adalah Rabb. Sadari bahwa kita bukanlah pencipta, pengatur, atau pemilik segala sesuatu. Setiap hari, kita membaca dan mengucapkan:
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-Fatihah [1]: 2)
Kemudian dilanjutkan dengan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah.” (QS. Al-Fatihah [1]: 5)
Kedua ayat ini mengingatkan kita tentang hubungan kita dengan Allah, bahwa Allah adalah Rabb yang mengatur segalanya. Makna Rabb sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari hal terbesar hingga yang terkecil.
Sebagai contoh, kemampuan kita berbicara, hadir di sebuah acara, mendengar, atau melihat adalah karena pengaturan Allah. Meski ada usaha dari kita, pada akhirnya Allah-lah yang menentukan. Bisa saja seseorang ingin hadir, tetapi Allah menakdirkan dia tidak bisa. Atau ustaz sudah datang, tetapi jamaah diusir, sehingga acara tidak terlaksana. Semua itu menunjukkan bahwa Rabb yang mengatur segalanya.
Setiap hari, kita mengingatkan diri bahwa Allah adalah Rabbul ‘Alamin (Rabb semesta alam). Kita hanyalah hamba yang harus patuh dan taat kepada perintah-Nya, serta menerima apa yang Dia putuskan. Jangan pernah menganggap diri sebagai pengatur segalanya. Apalagi jika seseorang memiliki kedudukan, seperti kepala sekolah, pimpinan perusahaan, atau pemimpin daerah, egoisme dapat tumbuh dan menjauhkan dari kesadaran sebagai hamba.
Ingatlah, Allah yang mengatur seluruh langit dan bumi, sedangkan kita hanyalah makhluk yang kecil dan lemah. Sebagai hamba, tugas kita adalah patuh kepada perintah dan larangan-Nya, serta menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat-Nya.
Mengembalikan Segala Urusan kepada Allah
Allah telah menurunkan panduan hidup berupa Al-Qur’an dan mengutus Rasul-Nya. Syariat telah disempurnakan, dan semuanya telah diterangkan:
…الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ…
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3)
Tidak ada kebaikan yang belum diperintahkan dan tidak ada keburukan yang belum dilarang. Oleh karena itu, ketika menghadapi sesuatu yang dianggap baik, kembalikanlah kepada panduan agama. Jika baik menurut syariat, silakan dikerjakan. Namun, jika buruk, tinggalkanlah, meskipun menurut logika manusia hal itu tampak baik.
Hal yang dianggap baik oleh manusia, tetapi dilarang dalam agama, sebenarnya adalah keburukan. Jangan sampai tertipu oleh iblis yang membuat manusia salah pandang. Kembalikan penilaian baik dan buruk kepada Allah, bukan kepada diri sendiri.
Para ulama menjelaskan bahwa agama ini diturunkan Allah dengan dua tujuan utama:
- Mengantarkan manusia kepada maslahat (kebaikan) dalam hidup mereka.
- Menjauhkan manusia dari mafasid (kerusakan) yang akan membahayakan mereka.
Allah adalah yang paling mengetahui maslahat dan mudarat bagi manusia. Hal yang tampak sebagai maslahat bisa jadi sebenarnya adalah mudarat, dan sebaliknya.
Poin Kedua: Allah Lebih Tahu, Kita Tidak Tahu
Allah mengetahui segalanya, sedangkan manusia tidak tahu. Sebagai manusia, kita hanya memahami keinginan sendiri tanpa mengetahui akibatnya. Sementara itu, Allah Ṭabaraka wa Ta’ala mengetahui dampak dari segala sesuatu.
Manusia dan Bisikan Iblis
Manusia sering terpengaruh oleh bisikan iblis yang menyusup ke dalam logika, adat istiadat, pengalaman hidup, dan pendidikan. Jika sesuatu tidak sesuai dengan syariat Allah, iblis dapat mengambil kesempatan untuk menyesatkan manusia. Dalam sebuah hadits shahih, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah,’ kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada setan yang mengajak kepada jalan itu,`” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, hanya ada satu jalan yang setan tidak bisa bermain di sana, yaitu jalan yang diajarkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, jalan lurus yang selalu kita minta, اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ.
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
Dalam Surah Al-Kahfi, Allah menceritakan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Ada tiga peristiwa yang secara dzahir tampak buruk, namun sebenarnya mengandung maslahat besar:
- Merusak Kapal
Nabi Khidir melubangi kapal milik orang miskin. Nabi Musa protes, namun ternyata tindakan itu dilakukan untuk melindungi kapal tersebut dari perampasan oleh raja yang dzalim. - Membunuh Anak
Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil. Nabi Musa kembali protes, namun Allah tahu bahwa anak tersebut jika dewasa akan menyesatkan kedua orang tuanya yang shalih. - Memperbaiki Dinding
Nabi Khidir memperbaiki dinding milik penduduk yang bakhil tanpa meminta upah. Ternyata, di bawah dinding tersebut terdapat harta milik anak yatim yang akan diberikan pada waktu yang tepat.
Ketiga peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik, sedangkan manusia hanya menilai dari apa yang tampak.
Allah berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Musibah dan Hidayah
Musibah yang menimpa seseorang sering kali menjadi pintu masuk hidayah. Banyak orang yang mendapat hidayah saat berada dalam keadaan sulit, seperti di dalam penjara. Mereka yang awalnya jauh dari Allah menjadi dekat dengan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa musibah dunia yang membawa seseorang kepada kebaikan hakiki adalah rahmat dari Allah.
Maka kaedahnya adalah: Musibah dunia yang menimpamu yang dengannya hidayah menyapa, maka musibah itu adalah kebaikan. Bahkan, apabila musibah itulah yang menjaga agama dan hidayahmu, maka musibah itu adalah kebaikan.
Sebagaimana kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam, penjara menjadi cara Allah menjaga beliau dari kejahatan wanita-wanita yang berusaha menyesatkannya. Penjara yang tampak sebagai musibah, sebenarnya adalah bentuk penjagaan dari Allah.
Lihat: Ujian Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam Saat Dipenjara
Oleh karena itu, ketika Allah menetapkan sesuatu, ridhailah keputusan tersebut. Yakinlah bahwa Allah selalu menentukan yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika hati masih sulit menerima, bersabarlah hingga tiba waktunya untuk memahami hikmah di balik keputusan Allah.
Poin Ketiga: Dunia sebagai Negeri Ujian
Bumi yang kita huni ini adalah negeri ujian, bukan negeri kenikmatan. Oleh karena itu, salah jika kita hanya ingin mendapatkan apa yang kita sukai, yang kita anggap nikmat, dan yang kita anggap baik di dunia ini. Hal itu tidak akan tercapai, karena memang bukan tempatnya. Dunia ini adalah negeri untuk bersusah payah demi mencapai kebaikan. Dunia bukanlah negeri pembalasan kebaikan, tetapi tempat berusaha keras menuju kebaikan. Itulah takdir dunia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan negeri yang penuh kenikmatan itu bernama akhirat, yaitu surga. Untuk mencapainya, kita harus melalui negeri ujian ini terlebih dahulu. Jika kita mencari kebaikan sempurna dan terhindar dari segala keburukan di negeri ujian, maka kita salah tempat. Nabi Adam ‘Alaihis Salam diturunkan ke bumi bukan sebagai balasan atas kebaikan, tetapi sebagai hukuman atas kesalahan yang beliau lakukan.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Dengarkan dan Download Kajian Pilihan Allah yang Terbaik
Podcast: Play in new window | Download
Jangan lupa untuk turut menyebarkan kebaikan dengan membagikan link kajian “Pilihan Allah yang Terbaik” ini ke media sosial Antum. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Antum semua.
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54813-pilihan-allah-yang-terbaik/